Modal Pembangunan Bangsa

18.52
Memperkuat Karakter Utama Keluarga Saat ini, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237.641.326 orang (BPS, 2010), terbesar keempat setelah China, India dan AS. Pada satu sisi Indonesia berpotensi memaksimalkan pembangunan karena ketersediaan sumber daya manusia sekaligus sumber daya alam. Tapi di sisi lain negara yang berpenduduk besar rawan persoalan sosial. Di Indonesia tingkat kemiskinan masih tinggi, kualitas kesehatan masyarakat rendah, pendidikan kurang merata, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak, penegakan hukum kurang berpihak pada yang lemah, tingginya korupsi, belum terpenuhinya hak anak dalam keluarga dan masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah karakter bangsa yang melemah. Sesungguhnya, sejak lama di dalam diri Bangsa Indonesia telah terdapat nilai agama, moral dan budaya luhur yang dapat melandasi dan memperkuat karakter bangsa. Namun, tampaknya nilai itu sedikit demi sedikit memudar seiring bergesemya orientasi hidup yang dapat melemahkan karakter, seperti pragmatisme, hedonisme dan materialisme. Akibatnya, agama, moral, dan budaya sekadar dijadikan praktik ritual formal dan tidak menyentuh substansi realitas kehidupan serta tidak menjadi problem solver bagi persoalan kehidupan. Dalam upaya membangun kembah karakter utama untuk memecahkan permasalahan sekaligus membawa kemajuan bangsa, diperlukan penguatan fungsi keluarga karena keluarga diyakini mampu menjadi tempat persemaian paling dini dalam menanamkan nilai karakter utama bagi generasi bangsa. Lalu, bagaimana nilai agama, moral dan budaya luhur dapat ditanamkan dan diwujudkan melalui keluarga? Pembangunan Karakter  Karakter merupakan kecenderungan kejiwaan, berupa kejiwaan yang baik maupun buruk, sebagaimana akhlak dalam pengertian agama. Manusia diberi kesadaran moral untuk memilih, di samping ada kebenaran yang hakiki benar dan hakiki salah. Antropolog Koentjoroningrat (dalam Haedar Nashir, 2012) mengatakan, penyakit manusia Indonesia adalah lebih mementingkan kuantitas, suka menerabas, tidak percaya diri, tidak disiplin, suka mengabaikan tanggung jawab dan lebih senang melakukan pekerjaan yang lain. Pembangunan karakter utama bangsa melalui karakter utama yang lahir dari keluarga ini akan terwujud jika dikaitkan dengan transformasi kebudayaan. Transformasi kebudayaan hams mampu menjadikan nilai seperti: kejujuran, kebaikan, tanggung jawab, dan keadilan diaktualisasikan dalam kebiasaan dan menjadi pengetahuan serta tindakan kolektif di dalam keluarga dan meluas di masyarakat sehingga terbangun bangsa yang dewasa yaitu matang dalam menentukan pilihan secara rasional. Transformasi kebudayaan berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, membenahi sistem kebudayaan ideal, membenahi alam pikian atau mindset. Di sinilah peran pendidikan yang mencerahkan sangat diperlukan; kedua, membenahi pranata sosial dengan menata sistem pendidikan, ekonomi, dan birokrasi. Ketiga, membangun kebudayaan fisik. Secara logika, di tempat yang baik, sehat, dan bersih orang akan lebih senang dan nyaman untuk mengaktualisasikan diri. (Haedar Nashir, 2012) Pada Tanwir 2007 Muhammadiyah merumuskan empat karakter utama yang perlu diperkokoh dan diaktualisasikan dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa: (1) religiusitas. Tingkat keberagamaan masyarakat tak berhenti pada tingkat norma dan formal, tapi hams termanifestasi secara aktual (akhlaq al-karimah); (2), sikap moderat, yang ditumbuhsuburkan menjadi budaya kolektif di tengah munculnya radikalisasi. Muhammadiyah mengembangkan sikap moderat karena membawa tumbuhnya nilai yang baik. Kreativitas anak dalam suasana moderat akan tumbuh-berkembang; (3), cerdas. Kecerdasan berkaitan dengan akal pikiran dan dimensi lain. Meski demikian, kecerdasan aspek lain tak mengeliminasi kecerdasan otak sebagai bekal masa depan peradaban; (4), kemandirian. Pendidikan dalam keluarga harus merupakan rangkaian dengan kehidupan dalam pranata sosial. Keluarga jadi role modelnya. Dalam konsep Keluarga Sakinah Aisyiyah, keluarga hams dapat menjadi role model, dengan cara: pertama, habitualisasi, pembiasaan, dimulai perilaku sederhana misalnya, membuang sampah pada tempatnya, tidak menyontek saat ujian; kedua, intemalisasi nilai dengan memadukan pendekatan kedisiplinan dan kasih sayang. Keluarga harus menjadi wahana school of love (Philips, 2000, dalam Susilo Rahardjo, 2010); Ketiga, institusionalisasi. Pemberian penghargaan dan sanksi menjadi bagian pendidikan untuk memperkuat perilaku baik dan meminimalisasi pelanggaran. Dalam proses membangun karakter utama keluarga, penting mengaktifkan dan mendorong institusi sosial sekitamya; keluarga harus dapat berfungsi menjaga keutuhan masyarakat sesuai konsep Keluarga Sakinah Aisyiyah yang mengaitkan pada pembangunan masyarakat melalui konsep Qaryah Thayyibah. Dalam masyarakat yang kuat akan terbangun sistem kontrol yang baik bagi perilaku menyimpang. *) Evi Sofia Inayati, Ketua Majelis Pembinaan Kader PP Aisyiyah.  

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.